MAGETAN || Penarealita.com – Bau busuk dugaan penyalahgunaan dana hibah melalui program Pengembangan Komunitas (Pokir) DPRD Kabupaten Magetan kembali mencuat ke permukaan. Dana yang bersumber dari APBD Magetan tahun anggaran 2021–2022 itu diduga kuat dipreteli secara sistematis hingga merugikan masyarakat, khususnya kelompok majelis taklim.
Kasus lama yang selama ini seolah terkubur, kini kembali diseret ke ruang publik setelah LSM Link melayangkan surat pengaduan resmi ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Magetan, mendesak agar aparat penegak hukum segera membuka kembali dan mengusut tuntas dugaan skandal tersebut.
Dalam surat pengaduan yang ditandatangani Hariri, perwakilan LSM Link, terungkap bahwa sedikitnya 13 kelompok majelis taklim di Kabupaten Magetan menjadi korban pemotongan dana hibah. Fokus utama dugaan penyimpangan terjadi di Desa Lembeyan Wetan, Kecamatan Lembeyan.
Ironisnya, setiap kelompok yang semestinya menerima bantuan Rp10 juta, justru hanya menerima Rp3,5 juta. Artinya, sebesar 65 persen atau Rp6,5 juta per kelompok diduga dipotong, dengan total nilai yang tidak kecil.
Nama Ida Yuhana Ulfa, yang disebut sebagai istri Nur Wachid, anggota DPRD Magetan dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mencuat dalam pengaduan tersebut sebagai pihak yang diduga melakukan pemotongan dana. Alasan yang disampaikan kala itu adalah untuk pembangunan Klinik Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) yang direncanakan berdiri di sebelah timur Lapangan Desa Lembeyan Wetan.
Namun, klaim tersebut kini dipertanyakan keras oleh publik. Pasalnya, hingga lebih dari 20 tahun berlalu, klinik yang dijanjikan itu tak pernah terwujud. Tidak ada pembelian lahan, tidak ada bangunan, bahkan tidak ada kejelasan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana yang telah dipotong dari hak masyarakat.
“Pemotongan dana hibah ini sangat tidak tepat dan berpotensi merugikan masyarakat. Kami mendesak Kejaksaan Negeri Magetan segera melakukan investigasi dan mengambil langkah hukum tegas,” tegas Hariri dalam surat pengaduannya.
Kekecewaan warga pun tak terbendung. Sejumlah penerima bantuan mengaku tidak pernah mengetahui adanya rencana pembangunan klinik, apalagi menyetujui pemotongan dana hibah. Dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan keagamaan—seperti pengadaan kitab, sarana ibadah, hingga peningkatan kualitas pengajar—justru lenyap tanpa kejelasan.
Publik kini mempertanyakan: ke mana sebenarnya aliran dana hibah yang dipotong itu? Mengapa kasus ini terkesan dibiarkan membeku selama puluhan tahun? Dan apakah hukum akan benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu?
Hingga berita ini diterbitkan, Kejaksaan Negeri Magetan belum memberikan pernyataan resmi terkait tindak lanjut pengaduan tersebut. Sementara itu, Ida Yuhana Ulfa dan Nur Wachid juga belum dapat dikonfirmasi untuk memberikan klarifikasi maupun hak jawab atas dugaan serius yang menyeret nama mereka.
Kasus ini menjadi ujian nyata bagi komitmen aparat penegak hukum di Magetan: berani membongkar dugaan korupsi lama, atau kembali membiarkannya terkubur oleh waktu.
Editorial: Redaksi