Home Daerah

Pasca Viral di TikTok, Diduga Oknum Guru Hina Wartawan dan LSM: Etika Pendidik Dipertanyakan

by Pena Realita - 15 Desember 2025, 12:00 WIB

BOJONEGORO || Penarealita.com – Polemik penjebolan pagar di Desa Prigi, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro, kini tak hanya menjadi isu lokal, tetapi telah menjalar luas ke media sosial, khususnya platform TikTok. Perdebatan panas di kolom komentar justru memunculkan persoalan baru yang lebih serius: penghinaan terbuka terhadap profesi wartawan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Kontroversi mencuat setelah sejumlah akun TikTok melontarkan tudingan bahwa LSM dan wartawan yang mengangkat peristiwa tersebut adalah pihak “abal-abal” dan tidak kredibel. Salah satu komentar yang menuai kecaman datang dari akun bernama “JO”, yang menuliskan pernyataan bernada merendahkan dan kasar.

“Pancen LSM utawa wartawan abal-abal tugase mung goleki kesalahane wong, anggep ae wong busuk aja LSM iku,” tulis akun tersebut, sebuah pernyataan yang dinilai tidak hanya menghina, tetapi juga mencederai marwah profesi kontrol sosial.

Ironisnya, akun “JO” ini diduga kuat dimiliki oleh seorang guru di SD Negeri 2 Banaran, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan. Dugaan tersebut sontak memantik keprihatinan publik. Pasalnya, seorang pendidik semestinya menjadi teladan dalam beretika, berbahasa, dan bersikap di ruang publik, bukan justru menyebarkan ujaran bernada kebencian dan stigmatisasi.

Jika dugaan ini benar, maka tindakan tersebut mencoreng dunia pendidikan dan bertolak belakang dengan nilai-nilai moral serta profesionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang guru.

Komentar dari akun “JO” dinilai telah berdampak luas dan berbahaya karena menggeneralisasi serta merusak citra wartawan dan aktivis LSM yang selama ini berperan sebagai pilar kontrol sosial, pengawas kebijakan, dan penyampai suara masyarakat.

Marwah profesi wartawan dan LSM yang dibangun melalui kerja lapangan, risiko, dan idealisme, terancam tercabik hanya karena ucapan sembrono oknum yang tidak bertanggung jawab di media sosial.

Di tengah hiruk-pikuk komentar negatif tersebut, muncul pula suara berimbang dari akun “Jayadi Kangewijaya”, yang justru menyoroti substansi persoalan. Ia menegaskan bahwa perusakan fasilitas tidak boleh dianggap remeh.

“Lha nginiki sing garai Indonesia rusak, wong perusakan kok dibiarkan,” tulisnya, menekankan bahwa penegakan aturan dan hukum harus berjalan sesuai prosedur, tanpa tebang pilih.

Publik kini menanti klarifikasi dari pihak terkait, baik pemilik akun “JO” maupun instansi pendidikan tempat yang bersangkutan mengajar. Media sosial bukan ruang bebas tanpa etika. Setiap pernyataan memiliki konsekuensi hukum, sosial, dan moral.

Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa kebebasan berekspresi bukan alasan untuk menghina, apalagi merendahkan profesi yang bekerja demi kepentingan publik.

Editorial : Redaksi 

Share :

Populer Minggu Ini