Home Daerah

Proyek Infrastruktur di Tuban: Kualitas Dipertanyakan, Anggaran Miliaran Rupiah Terancam Sia-Sia

by Pena Realita - 28 Agustus 2025, 16:56 WIB

TUBAN || Penarealita.com - Di setiap lembar APBD yang disahkan, tersimpan secercah harapan. Harapan rakyat yang ingin melihat jalan lebih mulus, sawah lebih subur, air lebih tertata, dan bangunan berdiri kokoh. Namun, di Tuban, harapan itu kerap menjelma jadi ironi. Di balik jargon pembangunan, ada cerita proyek yang dibangun tergesa, tanpa ruh profesionalitas, seakan lebih sibuk mengejar seremonial ketimbang manfaat nyata.

Salah satunya terlihat di Desa Sotang, Kecamatan Tambakboyo, tahun anggaran 2024. Sebuah proyek saluran pembuang dengan kontruksi L-Shape yang mestinya menjadi jawaban atas kebutuhan warga, justru menimbulkan tanda tanya besar. Caping (sloof) pada bangunan itu diduga dikerjakan tanpa tulangan besi. Padahal, besi adalah “urat nadi” yang memberi nyawa pada beton, menjadikannya lebih dari sekadar campuran semen dan kerikil. Tanpa tulangan, beton hanyalah tubuh rapuh, menunggu retak pertama sebelum akhirnya runtuh.

Padahal, anggaran yang digelontorkan tidaklah sedikit. Rp862 juta dari kantong publik, dikerjakan oleh CV. Karya Enik Jaya dengan nilai kontrak Rp860.062.000. Uang yang bagi masyarakat kecil bisa menjadi seribu mimpi: jalan tani yang layak, sumur bor untuk irigasi, atau perbaikan rumah tak layak huni. Namun di tangan para pelaksana, angka itu berubah menjadi proyek yang dipertanyakan mutunya.

Pembangunan infrastruktur bukan sekadar menata fisik. Ia adalah wujud dari kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Tetapi di Tuban, kontrak itu kerap tercabik oleh praktik asal-asalan. Lelang yang semestinya ketat, pelaksanaan yang seharusnya presisi, hingga pengawasan yang mestinya tajam—sering kali hanya jadi catatan formal di atas kertas.

Di mana mata pengawas teknis? Di mana peran DPU SDA yang seharusnya mengawal mutu? Dan di mana telinga legislatif yang semestinya mendengar aspirasi rakyat?

Ketika proyek dijalankan tanpa pengawasan yang ketat, hasilnya bisa ditebak: bangunan hanya menjadi “monumen” sementara. Bertahan sebentar, lalu retak, lalu hilang ditelan waktu. Rakyat hanya bisa geleng kepala, menyaksikan uang mereka lenyap bersama derasnya anggaran yang mengalir.

Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah jelas berbicara. Kontrak adalah perjanjian tertulis yang mengikat, memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kontrak itu bukan sekadar lembar kertas, melainkan kitab suci pembangunan yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.

Namun, apa artinya kitab suci jika dilanggar tanpa sanksi? Apa artinya janji jika di lapangan kontrak itu hanya dijalankan setengah hati?

Kontrak yang mestinya menjadi pagar mutu berubah menjadi hiasan administratif. Proyek berdiri bukan atas dasar kebutuhan jangka panjang rakyat, melainkan sekadar ritual tahunan: dana turun, proyek jalan, tanda tangan selesai, laporan rapi, meski bangunan rapuh.

Jika dibiarkan, Tuban hanya akan dipenuhi jejak bangunan tanpa jiwa. Saluran air yang cepat rusak, jalan yang mudah mengelupas, dan jembatan yang hanya gagah di awal lalu menyisakan luka di kemudian hari.

Bagi rakyat, pembangunan seperti ini adalah pengkhianatan. Sebab, mereka membayar pajak, menunggu janji, dan berharap pada infrastruktur yang bisa mereka gunakan dengan aman. Tetapi yang mereka dapatkan hanyalah tembok yang retak sebelum usianya tiba.

Pertanyaan pun menggantung di udara Tuban: siapa yang harus bertanggung jawab? Kontraktor yang diduga lalai? SKPD yang seharusnya mengawasi? Ataukah legislatif yang lebih sibuk dengan panggung politik daripada mengawal anggaran rakyat?

Sejarah akan mencatat, bahwa pembangunan bukan sekadar soal angka miliaran rupiah yang dicairkan, tetapi soal seberapa lama ia bermanfaat bagi rakyat. Dan ketika pembangunan kehilangan jiwa, maka infrastruktur hanya tinggal nama, kokoh di papan proyek, rapuh di hadapan rakyat.(Red )

Share :

Populer Minggu Ini